Tuesday, 6 December 2016

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TANAMAN MANGGIS (Garcinia mangostana . L.) DENGAN METODE AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphish)

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TANAMAN MANGGIS (Garcinia mangostana . L.) DENGAN METODE AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphish)
 


MAKALAH ILMIAH

OLEH :
ULFA HERYANI
130301018
AGROEKOTEKNOLOGI

















PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

 ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TANAMAN MANGGIS (Garcinia mangostana . L.) DENGAN METODE AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphish)

MAKALAH ILMIAH







OLEH:
ULFA HERYANI
130301018
AGROEKOTEKNOLOGI


Usulan Penelitian Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kolokium Pendukung/Penunjang Pada Program Studi Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara


Diketahui Oleh
Dosen Pembimbing Kolokium



NIP. 196708211993012001










PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
A.          Analisis Keragaman Genetik Manggis Menggunakan Teknik Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)
Manggis (Garcinia mangostana L.) adalah komoditas buah asli indonesia yang mempunyai prospek sangat baik untuk dikembangkan. Manggis merupakan salah satu buah tropis yang sangat terkenal, dan disebut sebagai Queen of Fruit karena rasa buahnya yang lezat dan banyak digemari .Selain itu, manggis telah lama dimanfaatkan sebagai obat-obatan diantaranya sebagai anti inflamasi ,serta sebagai perlakuan terhadap infeksi dan luka . Perbaikan varietas manggis bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul yang diarahkan untuk mempercepat pertumbuhan manggis melalui perbaikan sistem perakaran, cepat berproduksi (genjah), produktivitas tinggi dan kualitas buahnya baik. Pemuliaan tanaman manggis untuk memperbaiki sifat-sifat tersebut terkendala karena tanaman manggis memiliki variabilitas genetik yang rendah dan tidak dimungkinkannya peningkatan variabilitas genetik tanaman manggis melalui persilangan karena bunga jantan mengalami rudimentasi (Widiastuti. A. dkk., 2013).
Berdasarkan data statistic , volume eksport buah mangis tahun 1999 adalah 4.743 ton, sedang kan volume ekspor buah manggis tahun 2008 adalah 9.465 ton atau meningkat 100% dalam 10 tahun. Ekspor buah manggis menempati urutan pertama ekspor buah segar keluar negeri selanjutya nenas, mangga , pisang dan papaya . tujuan Negara ekspor buah manggus adalah cina termasuk hongkong dan Taiwan, Malaysia dan singapura , jepang , prancis, belanda dan timur tengah. Luas panen dari tahun ke tahun meningkat terus. Terbukti tahun 1999 luas panen 4.124 ha mengalami peningkatan menjadi 9.352 ha pada tahun 2008 atau meningkat 127% dalam 10 tahun. Begitu juga produksi manggis terus meningkat juga19.174 ton pada tahun 1999 menjadi 78.674 ton pada tahun 2008 atau meningkat 310% dalam 10 tahun        ( Qosim.A.W.,dkk , 2011).
Para peneliti menemukan beberapa keragaman selama di lapang. variasi rasa dan ukuran buah terdapat pada manggis di Asia. Terdapat variabilitas fenotipe pada karakter populasi manggis Sumatera Barat, dan dari hasil analisis isozimnya, populasi manggis tersebut memiliki keragaman genetik meskipun sempit.  keragaman yang ada pada sentra-sentra produksi di Jawa diduga merupakan keragaman yang disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan. Iradiasi sinar gamma pada biji manggis dapat menyebabkan perubahan pada karakter morfologi dan anatomi serta perubahan molekulernya ( Hartuti.F, 2008).
Upaya perbaikan sifat tanaman manggis dengan meningkatkan keragaman genetiknya perlu dilakukan. Seperti telah diketahui, modal dasar pemulian tanaman adalah adanya keragaman yang luas. Dengan adanya variabilitas yang luas, proses seleksi dapat dilakukan secara efektif karena akan memberikan peluang yang lebih besar untuk diperoleh karakter-karkter yang diinginkan. Salah satu alternatif yang dapat diaplikasikan dalam rangka peningkatan variabilitas pada tanaman apomiktik adalah melalui teknik mutasi buatan . Penggunaan radiasi dengan menimbulkan mutasi atau perubahan susunan genetik telah banyak menimbulkan dampak positif terhadap bertambahnya jumlah varietas tanaman baru. Teknik ini memberikan kontribusi dalam meningkatkan keragaman genetik dan diharapkan dari mutan-mutan yang dihasilkan ada yang memiliki karakter unggul (Widiastuti. A. dkk., 2013).
Di Indonesia tanaman manggis tersebar hamper semua  kepulauan . sentra produksi manggis dijawa barat adalah kabupaten tasikmalaya (Puspahyang) , purwakarta (Wanayasa), Bogor (Lewiliang , Jasinga) dan Ciamis (Pangandaran). Spesifikasi  manggis asal puspahiyang yaitu buah berbentuk bulat, rasa segar asam manis , warna kulit buah merah / ungu kecoklatam , warna daging buah putih , degan bobot buah dpat mencapai 8-9 buah/kg, mempunyai aroma yang khas, kulit buahnya keras mengkilat tipis serta tidak terlalu banyak getahnya  ( Qosim.A.W.,dkk , 2011).
Tanaman manggis Masa juvenil yang sangat panjang, dimana lambatnya pertumbuhan diantaranya disebabkan oleh buruknya sistem perakaran, penyerapan hara dan air lambat, rendahnya laju fotosintesis dan rendahnya laju pembelahan sel pada meristem. Biji manggis terbentuk secara apomiktik dan berkembang dari embrio adventif secara aseksual . Regenerasi tanaman manggis yang berlangsung aseksual mengakibatkan variabilitas genetik tanaman ini rendah dan secara genetik tanaman manggis mewarisi sifat tetua betinanya berdasarkan studi Randomly Amplified DNA Fingerprinting (RAF) terhadap 37 aksesi tanaman manggis, 70% menunjukkan tidak adanya variasi. pada 30 tanaman manggis yang berasal dari daerah-daerah di Sumatera Barat menyimpukan bahwa variabilitas genetik melalui uji isozim dikategorikan sempit, walaupun beberapa karakter memperlihatkan varibiitas fenotip yang luas (Widiastuti. A. dkk., 2013).
 Keragaman genetik sangat penting bagi tanaman untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi disekitarnya. Informasi keragaman genetik tanaman pada tingkat, individu, spesies maupun populasi perlu diketahui, sebagai dasar pertimbangan dalam menyusun strategi konservasi, pemuliaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya genetik tanaman secara berkelanjutan. Penilaian keragaman genetik tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan penanda morfologi, biokimia dan molekuler DNA (Zulfahmi, 2013).
Keragaman genetik tanaman sangat penting juga dalam ilmu pemuliaan tanaman. Plasma nutfah sebagai substansi sifat keturunan perlu mendapat perhatian, tidak hanya mengumpulkan dan memeliharanya saja, tetapi juga perlu dilakukan identifikasi (karakterisasi) dan evaluasi keragaman genetic dan fenotipnya      (Nugraha. K.D, 2008).
Studi keragaman genetik dapat dilakukan dengan berbagai marka, misalnya marka morfologi, marka isoenzim, dan marka DNA. Marka DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi sidik jari genetik, memperkirakan keragaman genetik, menyeleksi tanaman dan ternak berbasis marka, serta membuat peta kloning berbasis gen.Studi keragaman genetik berdasarkan sidik jari DNA dapat dilakukan dengan berbagai metode, bergantung pada tujuan dan kemudahan dalam menginterpretasi data. Metode yang sering digunakan untuk tujuan tersebut ialah yang berbasis polymerase chain reaction (PCR), seperti, randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) ,arbitrarily primed PCR (AP-PCR), dan berbasis hibridisasi DNA. Metode biologi molekuler yang berbasis molekul DNA dapat digunakan untuk analisis keragaman, karena masing-masing individu memiliki urutan DNA yang berbeda. Informasi urutan ini dapat digunakan untuk mempelajari perbedaan genetik dan hubungan kekerabatan antara individu dan jenis organism ( Makful.S , 2010).

B.     PENANDA MOLEKULER
Untuk memonitor terkombinasi genom pada tanaman dalam kegiatan pemuliaan tanaman selain dilakukan pengukuran langsung terhadap fenotipe, juga digunakan berbagai penanda, antara lain penanda morfologi dan sitologi. Penanda morfologi adalah penanda yang berdasarkan organ-organ tanaman yang mudah diamati. Namun demikian, penanda ini memiliki kelemahan-kelemahan antara lain sifat penurunan yang dominan atau resesif, dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan mempunyai tingkat keragaman (polimorfisme) rendah serta jumlah yang sedikit. Sedangkan penanda sitologi adalah penanda yang digunakan untuk membantu pemuliaan tanaman melalui ukuran kromosom .Penggunaan penanda sitologi khususnya pola pita kromosom dengan ukuran yang relatife besar , misalnya pada tanaman gandum (Sudarmi, 2013)
Pemakaian penanda molekuler berdasarkan pola pita DNA telah banyak digunakan untuk menyusun kekerabatan beberapa individu dalam spesies maupun kekerabatan antar spesies. Penggunaankekerabatan dapat dijadikan rujukan dalam pemuliaan persilangan untuk mendapatkan keanekaragaman yang tinggi dari hasil persilangan. Penggunaan penanda DNA dapat membantu pelaksanaan pemilihan tetua persilangan yang memiliki perbedaan tinggi secara Genetik  (Syam. R, dkk . 2012).
Markah molekuler adalah suatu penanda pada level DNA yang menawarkan keleluasaan dalam meningkatkan efisiensi pemuliaan konvensional dengan melakukan seleksi tidak langsung pada karakter yang diinginkan, yaitu pada markah yang terkait dengan karakter tersebut. Markah molekuler tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan dapat terdeteksi pada semua fase pertumbuhan tanaman. Oleh karena markah molekuler dapat mengkarakterisasi galur-galur secara langsung dan tepat pada level DNA sehingga dapat dibentuk kelompok heterotik dan pola heterotik, yang dapat memandu para pemulia dalam menyeleksi kandidat tetua hibrida secara cepat, tepat, dan efisien. Selain itu, markah-markah tersebut dapat bermanfaat dalam mengidentifikasi perbedaan tanaman secara individu melalui profilprofil unik secara alelik yang diaplikasikan dalam perlindungan kultivar tanaman                                    ( Marcia. B. dkk.,2016)
Kemajuan dalam bidang bioteknologi, khususnya pada biologi molekuler membuka peluang penggunaannya dalam memecahkan berbagai masalah pemuliaan tanaman. Dalam pemuliaan konvensional menggunakan hasil observasi fenotipe,kadang-kadang didukung oleh statistika yang rumit dalam menyeleksi individu unggul pada suatu populasi tanaman. Namun demikian, tugas ini terkesan sulit karena kerumitan genetika dari sebagaian besar sifat-sifat agronomi dan adanya interaksi yang kuat dengan faktor lingkungan. Oleh karena itu pemuliaan tanaman di masa mendatang akan lebih mengarah kepada penggunaan teknik dan metodologi pemuliaan molekuler dengan menggunakan penanda genetik. Dengan penggunaan “pemuliaan molekuler” ini telah menjanjikan kesederhanaan terhadap kendala dan tantangan dalam pemuliaan tanaman yang rumit. Seleksi tidak langsug dengan menggunakan penanda molekuler yang terikat dengan sifat-sifat yang diinginkan telah memungkinkan studi individu pada tahap pertumbuhan dini, mengulangi permasalahan yang berkaitan dengan seleksi sifat-sifat ganda dan ketidaktepatan pengukuran akibat ekspresi sifat yang disebabkan oleh faktor eksternal lokus genetik ganda (Sudarmi, 2013).
Amplified fragment length polymorphism (AFLP) adalah teknik studi keragaman genetic berdasarkan fragmen pemotongan DNA dan amplifikasi DNA. Teknik ini lebih baik dari teknik RAPD. Pita-pita polimorfisme yang dihasilkan teknik AFLP sekitar 50-100 pita, sedangkan teknik RAPD hanya menghasilkan sekitar 50 pita (Sobir dan Poerwanto 2007). Selain itu data keragaman genetik yang dihasilkan dari teknik AFLP lebih akurat dibandingkan RAPD  Walaupun demikian, RAPD lebih murah dan lebih sederhana dibanding AFLP (Makful.S , 2010).
Kelemahan dari teknik AFLP adalah cara aplikasinya relatif lebih rumit, sehingga memerlukan waktu lebih lama, keterampilan khusus, serta pengadaan alat dan bahan sangat mahal. Teknik ini sedikit rumit karena melibatkan enzim restriksi dan amplifikasi. Prosedur AFLP lebih banyak membutuhkan tenaga dan lebih mahal daripada analisis RAPD, Marka AFLP mirip dengan RAPD, tetapi primernya spesifik dan jumlah pitanya lebih banyak. Marka AFLP dikategorikan 18-25 nukleotida, konsisten denganklasifikasi atas dasar taksonomi dan asal daerah                                  ( Afifah.N. E, 2012).
Analisis keanekaragaman genetik pada prinsipnya bertujuan mengkaji komposisi genetik individu di dalam dan atau antarpopulasi, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya modulasi atau dinamika keanekaragaman genetik dari populasi tersebut. Secara umum keragaman genetic pada suatu populasi dapat terjadi karena gen mengalami mutasi, rekombinasi, dan perpindahan sekelompok populasi dari suatu tempat ke tempat lain .Struktur genetik dari suatu populasi dipengaruhi pula oleh beberapa faktor, seperti besarnya populasi, cara reproduksi individu yang diteliti, aliran gen, dan seleksi alam (Makful.S , 2010).
Kegiatan pengembangan varietas manggis dilakukan melalui studi genetika manggis, meningkatkan keragaman genetik manggis, karakterisasi mutan manggis, penyimpanan tepung sari manggis. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan maksimal 10 aksesi manggis terdeskripsi dan tervalidasi. Analisis molekuler dilakukan dengan teknik RAPD yang terbagi atas dua kegiatan, yaitu (1) analisis molekuler antar aksesi dari berbagai lokasi, dan (2) analisis molekuler antara tanaman induk dan keturunannya. Bahan analisis digunakan dari desa Sungai Naning, Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat dengan tanaman keturunannya. Hasil observasi morfologi menunjukkan adanya perbedaanbentuk dan warna buah. Bentuk buah yang teridentifikasi adalah bulat, gepeng, memanjang, runcing atau tidak beraturan. Warna buah teridentifikasi adalah kuning muda, kuning, dan hijau. Hasil analisis RAPD menunjukkan bahwa primer OPH-20 memiliki tingkat polimorfisme tertinggi. Keragaman genetik manggis sempit karena umumnya identik dengan induknya (Manuwoto. S. dkk,.2016)
Normal pada makhluk hidup, baik dalam kehidupan tumbuhan, hewan, maupun manusia. Ciri-ciri fisik setiap makhluk hidup yang tampak secara visual dapat mudah dikenali, karena tidak memerlukan alat bantu. Namun ciri fisik dalam aras molekuler hanya dapat dikenali dengan alat-alat bantu atau teknik-teknik pemeriksaan laboratorium tertentu yang memerlukan ketelitian tinggi. Organisme dapat berbeda dalam bentuk individu (polimorfisme fenotip), bentuk organ, enzim (polimorfisme protein), substansi darah (polimorfisme biokimia), dan perbedaan urutan nukleotida (polimorfisme DNA) Studi genetik apomiksis biasa dilakukan dengan cara membedakan karakteristik tanaman induk dengan keturunan-keturunan yang menyimpang. Di lain pihak, studi pada tanaman apomiksis obligat menghadapi kesulitan, karena variabilitas genetic yang rendah dan siklus hidup tanaman yang lama. Untuk itu perlu dibuat teknik merangsang variasi baru, di antaranya transfer apomiksis kepada tanaman amfimiksis . Sebagai langkah awal untuk perbaikan klon manggis informasi dasar variabilitas genetik pada manggis sangat diperlukan untuk menentukan langkahlangkahpemuliaan lebih lanjut. Manggis berkembangbiak secara aseksual melalui jaringan proembrio jaringan ovular yang menghasilkan keturunan sama dengan induknya. Walaupun demikian, masih dimungkinkan adanya variasi genetik tanaman manggis di alam. Berdasarkan uraian tersebut dilakukan penelitian analisis keragaman genetik manggis menggunakan teknik AFLP yang bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik manggis dari beberapa daerah di Indonesia (Makful.S , 2010).
Polimorfisme dalam analisis AFLP berasal dari tiga sumber, yaitu: (1) variasi sekuen pada satu atau kedua tempat restriksi fragmen flanking tertentu, (2) insersi dan delesi dalam amplifikasi fragmen, dan (3) perbedaan dalam sekuen-sekuen nukleotida yang berdekatan terhadap titik restriksi. AFLP memiliki tingkat polimorfisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan RFLP. Keuntungan teknologi AFLP adalah proses PCR yang cepat, menggunakan primer acak, dan tidak membutuhkan informasi sekuen. Keuntungan tersebut membuat AFLP dapat diaplikasikan untuk studi taksonomi secara molekuler, genetika populasi, identifikasi klon, kultivar, konstruksi peta genetik, dan lain-lain. Analisis AFLP juga mempunyai sejumlah keterbatasan, seperti, penanda dominan, terbatasnya tingkat polimorfisme dalam beberapa kultivar, membutuhkan kualitas dan jumlah DNA yang tinggi (Zulfahmi, 2013).
C.     ISOLASI DNA
Genom DNA diisolasi dari Sembilan contoh tanaman manggis, yaitu: 8-(Garcinia sp. manggis hutan-1), 13-(G. mundar), 17- (Garcinia sp. manggis hutan-asam), 19-(G.mangostana Pasarminggu-2), 20-(G. mangostana Pasarminggu-1), 22-(G. mangostana Jayanti-2), 25-(G. malaccensis-Jambi), 26-(G. malaccensis Bukit Kawang Medan PK 1), dan 27-(G.malaccensis Bukit Lang PK 2) dengan prosedur Orozco-Castillo (1994). Sebanyak 0,3 g daun manggis muda dikoleksi dan didinginkan dengan nitrogen cair. Genom total dari sampel jaringan diisolasi ke dalam 2 ml tabung eppendorf. Genom total dicuci dua kali dengan alcohol 70%, dikeringkan dan dilarutkan ke dalam 500 ul buffer TE (100 mM Tris-HCl, 1 Mm EDTA, pH 7,5), kemudian ditambah 20 ul RNAse (10 mg/ml) dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 jam. DNA dipresipitasi dengan 2 volume etanol absolut dan 0,1 volume Na-acetat 3 M. Konsentrasi DNA sampel tersebut dideterminasi dengan elektroforesis pada 1,4% agarose .
D.    ANALISIS AFLP
Metode AFLP mengikuti prosedur standar AFLP analysis system I (cat.no. 10544-013) Gibco BRL Life Technologies. Genom DNA yang berkualitas tinggi sebanyak 0,5 g dipotong dengan sepasang enzim restriksi (Pst I dan Mse I), kemudian diligasi dengan adaptor rantai ganda Pst I dan Mse I. Adaptor dan 1 unit T4 DNA ligase kemudian ditambahkan ke dalam unit reaksi pada suhu 20°C selama 2 jam. Hasil ligasi diencerkan 1:10 dengan buffer TE, kemudian dipakai sebagai cetakan untuk Pre-PCR. Reaksi Pre-PCR terdiri atas 1 ng DNA terligasi, 40 ul PCR-mix, 1 x buffer PCR, dan 1 unit taq polimerase. Polymerase chain reaction-mix diamplifikasi sebanyak 20 kali dengan kebutuhan suhu dan waktu .
Setelah diamplifikasi, produk diencerkan 1:50 dalam buffer TE. Semua sampel secara selektif diamplifikasi dengan 64 kemungkinan kombinasi primer. Amplifikasi yang terpilih terdiri atas 1x buffer PCR, 1 unit taq pol, primer terpilih Eco RI 0,5 μl dan Mse I sebanyak 4,5 μl dan 5 μl diencerkan DNA Pre- PCR dalam 20 μl volume reaksi Pada penelitian ini waktu dan suhu optimum untuk penempelan primer adalah siklus dengan suhu penempelan primer berurut berkurang 2°C setiap dua siklus untuk delapan siklus (63°C x 2,61°C x 2, 59°C x 2, 57°C x 2) dan dilanjutkan 23 siklus dengan suhu penempelan primer 56°C. Hasil produk PCR dielektroforesis pada 7% PAGE, didenaturasi dengan 7 M Urea dan diwarnai dengan silver stained. Ada dan tidaknya pita dinilai dengan skor secara manual         (Makful.S , 2010).


KESIMPULAN
1.  Dari sembilan sampel manggis yang diperoleh dari berbagai lokasi di Indonesia ditemukan adanya keragaman genetik.
2.  Dengan menggunakan analisis klaster pada nilai koefisien kesamaan genetik di atas 75% diperoleh tiga kelompok aksesi manggis, yaitu kelompok 1 Garcinia sp. Sampel 8-(Garcinia sp. Manggis Hutan-1), 13-(G. mundar), 17-(Garcinia sp. Manggis Hutan Asam), kelompok 2 G. mangostana, sampel 19-(G. mangostana Pasarminggu-2), 20-(G. mangostana Pasarminggu-1), 22-(G. mangostana Jayanti-2), dan kelompok 3 G.malaccensis sampel 25-(G. malaccensis- Jambi), 26-(G. malaccensis Bukit Kawang Medan PK 1), dan 27-(G. malaccensis Bukit Lang PK 2), sedang pada nilai koefisien kesamaan genetik 60% sembilan aksesi manggis terkelompok menjadi satu.
3. Informasi variabilitas genetik tersebut dapat dijadikan dasar bagi pemanfaatan plasma nutfah manggis yang ada dalam program pemuliaan manggis.


DAFTAR PUSTAKA
Afifah.N.E.,2012. Makalah  Seminar Penggunaan Penanda Molekuler Untuk Mempercepat Dan Mempermudah Perbaikan Kualitas Tanaman The (Camellia Mensi (L) O.Kunte). UGM. Yogyakarta.

Hartuti. F.2008. studi keragaman morfologi populasi bibit manggis (Garcinia mangostana .L) Asal tempat produksi di kabupaten tasikmalaya IPB. Bogor.

Makful.S, Purnomo. S. 2010. Analisis keragaman genetic Manggis menggunakan teknik Aplified Fragment Length Poly Morphish (AFLP). BPTP. Malang.

Manuwoto.S., Roedy. P., Kusuma . D.,20r16. Pengembangan buah –buahan unggulan Indonesia.

Marcia.B.,Pabondon.M., Azral. F .,Kasim, Madey .M. 2016.Prospek Penggunaan markah molekuler dalam program pemuliaan jagung. BPTS. Lembang.

Nugraha. K.D. 2008. Analisis keragaman Pola pita isozim tanaman manggis (Gercinia Mangostana .L.) Jogorogo. Universitas sebelas maret. Surakarta.

Qosim .A.W.,Neni.R., Ayoni.M.,2011. Variabilitas fenotifk dan kekerabatan tanaman manggis di lima desa kecamatan puspahiyang kabupaten taikmalaya . UNPAD. Bandung.

Sudarmi.2013. Peranan biologi molekuler pada pemuliaan . universitas veteran bangun Nusantaara  sukoharjo.

Syam.R.,Gusti.R.S.,Muzuni. 2012. Analisis variasi genetika jambu mete asal Sulawesi tengah menggunakan merka molekuler AFLP. Penelitian agronomi. Universittas haluoleo.

Widiastuti.A.,Sobir,Muh.R.Suhartanto.2013.analisis keragaman genetika menggis (garcinia mangostana) diradiasi gamma berdasarkan penanda ISSR.

Zulfahmi.2013. penanda DNA untuk analisis genetika tanaman . UIN Sultan Syarifkasin. Riau.







Thursday, 24 December 2015

PENGELOLAAN HAMA TERPADU ULAT BAWANG (Spodoptera exigua Hubner) PADA TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.)

PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta bahan obat tradisional. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Rp. 2,7 triliun/tahun), dengan potensi pengembangan areal cukup luas mencapai ± 90.000 ha (Dirjen Hortikultura, 2005)
Bawang merah merupakan tanaman semusim, memiliki umbi berlapis, berakar serabut, dengan daun berbentuk silinder berongga. Umbi bawang merah terbentuk dari pangkal daun yang bersatu dan membentuk batang yang kemudian berubah bentuk dan fungsinya, membesar dan akhirnya membentuk umbi berlapis (Sumarno dan Hartono, 1983).
Umbi bawang merah mengandung vitamin C, kalium, serat dan asid folic, sulfur, serta kalsium dan zat besi yang tinggi. Bawang merah merupakan komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi di Kabupaten Cirebon. Wilayah sentra pengem- bangannya meliputi Waled, Ciledug, Pabuaran, Losari, Pabedilan, Babakan, Gebang, Karang Sembung, Sedong, Astanajapura, Pangenan, Mundu, Beber, Palimanan, Plumbon, dan Susukan. Luas tanam bawang merah di Cirebon tercatat 3.873 ha dan luas panen 3.665 ha. Produksi mencapai 35.271 ton atau produktivitas rata-rata 9,09 ton/ha. Produksi tersebut dapat memenuhi kebutuhan Kabupaten Cirebon, bahkan sebagian dipasarkan ke luar daerah. Oleh karena itu, pengembangan bawang merah memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan petani (Wibowo, 2007).
            Bawang merah dihasilkan di 24 dari 32 provinsi di Indonesia. Penghasil utama (luas areal panen > 1.000 hektar per tahun) bawang merah adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogya, Jawa Timur, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan. Keseluruhan provinsi ini menyumbang 95,8% (Jawa memberikan kontribusi 75%) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada tahun 2003. Konsumsi rata-rata bawang merah pada tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38 kg/kapita/bulan. Menjelang hari raya keagamaan terjadi kenaikan konsumsi sebesar 10 – 20 % (Dirjen Hortikultura, 2005).
            Beberapa masalah yang dihadapi dalam budidaya bawang merah, antara lain adalah : (1) ketersediaan benih bermutu belum mencukupi secara tepat (waktu, jumlah, dan mutu); (2) penerapan teknik budidaya yang baik dan benar belum dilakukan secara optimal; (3) sarana dan prasarana masih terbatas; (4) kelembagaan usaha di tingkat petani belum dapat menjadi pendukung usaha budidaya; (5) skala usaha relatif masih kecil akibat sempitnya kepemilikan lahan dan lemahnya permodalan; (6) produktivitas cenderung mengalami penurunan; (7) harga cenderung berfluktuasi dan masih dikuasai oleh tengkulak; dan (8) serangan OPT semakin bertambah (Udiarto, dkk., 2005).
            Usaha meningkatkan produksi bawang merah (Allium ascolonicum L.), tidak terlepas dariserangan hama dan penyakit. Salah satu hama penting pada bawang merah yaitu (Spodoptera exigua Hubner). Srangan S. exigua dapat mneguragi hasil panen sampai 57%. Hama inimerupakan pemakan daun yang sangat merugikan, karena mulai dari larva instar pertama sampai larva instar akhir dapat menghancurkan daun hingga gundul (Wulansari, 1996).
            Salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing bawang merah adalah melalui pengembangan dan penerapan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dilihat dari sisi perundang-undangan, PHT telah memperoleh dukungan yang kuat dari pemerintah melalui UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan Menpan No. 887/Kpts/OT/9/1997 tentang Pedoman Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Secara global, PHT atau Integrated Pest Management (IPM) telah memperoleh pengakuan sebagai program pertanian berkelanjutan, antara lain dengan dimasukkannya PHT sebagai salah satu program dalam Agenda 21 Hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro (Udiarto, dkk., 2005).
            Tujuan umum program PHT adalah pengembangan sistem pengelolaan hama yang diperbaiki dan berwawasan lingkungan untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan. Untuk itu pengendalian OPT yang akrab lingkungan seperti penggunaan musuh alami (parasitoid, predator dan patogen serangga), memperoleh perhatian dan dukungan (Udiarto, dkk., 2005).
Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui pengelolaan hama terpadu hama Spodoptera exigua Hubner pada tanaman bawang merah  (Allium ascolonicum L.)
Kegunaan Penulisan

            Adapun kegunaan penulisan dari paper ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti Pra Praktikal Test di Laboratorium Pengelolaan Hama dan Penyakit Terpadu Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Bawang Merah (Allium ascolonicum L.)
            Tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut             Kingdom : Plantae ; Divisio : Spermatophyta ; Subdivisio : Angiospermae ;               Kelas : Monocotyledoneae ; Ordo : Liliaceae ; Family : Liliales ; Genus : Allium ; Species : Allium ascalonicum L. (Tim Bina Karya Tani, 2008).
            Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam tanah. Jumlah perakaran tanaman bawang merah dapat mencapai 20-200 akar. Diameter bervariasi antara 0,5-2 mm. Akar cabang tumbuh dan terbentuk antara 3-5 akar (AAK, 2004).
            Tanaman ini memiliki batang sejati atau disebut “discus” yang berbentuk seperti cakram, tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya akar dan mata tunas (titik tumbuh), diatas discus terdapat batang semu yang tersusun dari pelepah-pelepah daun dan batang semu yang berbeda di dalam tanah berubah bentuk danfungsi menjadi umbi lapis (Rahayu dan Berlian, 1999).
            Daun bawang merah bertangkai relatif pendek, berbentuk bulat mirip pipa, berlubang, memiliki panjang 15-40 cm, dan meruncing pada bagian ujung. Daun berwarna hijau tua atau hijau muda. Setelah tua, daun menguning, tidak lagi setegak daun yang masih muda dan akhirnya mengering dimulai dari bagian ujung tanaman (Suparman, 2010)
            Bunga bawang merah merupakan bunga sempurna, memiliki benang sari dan kepala putik. Tiap kuntum bunga terdiri atas enam daun bunga yang berwarna putih, enam benang sari yang berwarna hijau kekuning-kuningan, dan sebuah putik. Kadang-kadang, di antara kuntum bunga bawang merah ditemukan bunga yang memiliki putik sangat kecil dan pendek atau rudimenter. Meskipun kuntum bunga banyak, namun bunga yang berhasil mengadakan persarian relatif sedikit (Pitojo, 2003).
            Buah berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul membungkus biji berjumlah 2-3 butir. Bentuk biji pipih, sewaktu masih muda berwarna bening atau putih, tetapi setelah tua menjadi hitam. Biji-biji berwarna merah dapat dipergunakan sebagai bahan perbanyakan tenaman secara generatif (Rukmana, 1995).
Syarat Tumbuh
Iklim
            Bawang merah dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 0–1000 m dpl. Meskipun demikian ketinggian optimalnya adalah 10–30 mdpl saja. Pada ketinggian 500–1000m dpl, juga dapat tumbuh, namun pada ketinggian itu yang berarti suhunyar endah pertumbuhan tanaman terhambat dan umbinya kurang baik
(Wibowo, 2007).
            Tanaman bawang merah lebih optimum tumbuh di daerah beriklimkering.Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi serta cuaca berkabut.Tanaman ini membutuhkan sinar matahari yangmaksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25-32° C dan kelembapan nisbi 50-70% (Sumarni dan Hidayat, 2005).
            Sinar matahari berperan cukup besar bagi kehidupan tanaman bawang,terutama dalam proses fotosintesis. Tanaman bawang merah menghendaki areal penanaman terbuka, karena tanaman ini memerlukan penyinaran yang cukup panjang sekitar 70%.Oleh karena itu tanaman bawang merah dikelompokkan kedalam tanaman berhari panjang (AAK, 2004).
            Curah hujan yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman bawang merah adalah antara 300-2.500 mm per tahun. Tanaman bawang merah sangat rentan terhadap curah hujan tinggi, terutama daunnya yang mudah rusak sehingga dapat menghambat pertumbuhannya, dan umbinya pun mudah busuk (Tim Bina Karya Tani, 2008).
            Pada suhu yang rendah, hasil berupa umbi dari tanaman bawang merah kurang baik.Pada suhu 22° C tanaman masih mudah membentuk umbi, tetapi hasilnya tidak sebaik jika ditanam di dataran rendah yang bersuhu panas.Daerahyang sesuai adalah yang suhunya sekitar 25-32° C dan suhu rata-rata tahunannya30° C (Rahayu dan Berlian, 1999).
Tanah
            Tanaman bawang merah menyukai tanah yang subur, gembur dan banyak mengandung bahan organik. Tanah yang gembur dan subur akan mendorong perkembangan umbi sehingga hasilnya lebih maksimal. Selain itu, bawang merahhendaknya ditanam di tanah yang mudah meneruskan air, aerasinya baik dan tidak boleh ada genangan.Jenis tanah yang paling baik untuk bawang merah adalah tanah lempung berpasir atau lempung berdebu.Jenis tanah ini mempunyai aerasi dan drainase yang baik karena mempunyai perbandingan yang seimbang antara fraksi liat, pasir dan debu (Rahayu dan Berlian, 1999).
            Bawang merah menghendaki struktur tnah remah.Tanah remah memiliki perbandingan bahan padat dan pori-pori yang seimbang. Bahan padat merupakan tempat berpegang akar. Tanah remah lebih baik dari pada tanah bergumpal
(AAK, 2004).
            Tanaman bawang merah menghendaki tanah gembur subur dengan drainase baik. Tanah berpasir memperbaiki perkembangan umbinya. pH tanah yang sesuai sekitar netral, yaitu 5,5 hingga 6,5 sedangkan temperatur cukup panas yaitu 25-32°C. Persyaratan tumbuh untuk bawang bombai berlaku pula untuk bawangmerah (Ashari, 1995).
Biologi Hama
            Spodoptera exigua Hubner dapatdiklasifikasikan sebagai berikut :           Filum : Arthropoda ; Kelas : Insecta ; Ordo : Lepidoptera ; Famili : Noctuidae ; Genus : Spodoptera ; Species : Spodoptera exigua Hubner (Kalshoven, 1981).
            Ulat daun bawang (Spodoptera exigua Hubner) mempunyai beberapa variasi warna yaitu hijau, cokelat muda, dan hitam kecoklatan. Ulat yang hidup di dataran tinggi umumnya berwarna coklat. Panjang ulat penggerek daun ini sekitar 2,5 cm. Sejak telur menetas menjadi ulat, berkepompong, lalu menjadi serangga dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 23 hari (Rahayu dan Berlian, 1999).
            Telur berbentuk bulat sampai bulat panjang, diletakkan oleh induknyadalam bentuk kelompok pada permukaan daun atau batang dan tertutup olehbulu-bulu atau sisik dari induknya. Tiap kelompok telur maksimum terdapat80 butir. Jumlah telur yang dihasilkan oleh ngengat betina sekitar 500-600 butir.Setelah 2 hari telur menetas menjadi larva (Moekasan, dkk., 2000).
            Larva muda terdiri dari enam instar kadang ada juga lima instar. Larvaberwarna hijau dengan garis – garis hitam pada punggungnya, berukuran 1,2–1,5mm. Sedangkan larva instar lanjut (2-5), berwarna hijau (umumnya di dataran rendah) dan berwarna coklat (umumnya didataran tinggi) dengan garis kuning pada punggungnya. Setelah melalui instar akhir, larva menjatuhkan diri ketanah untuk berkepompong. Ngengat mempunyai sayap depan berwarna coklat tua dengan garis–garis kurang tegas dan terdapat bintik–bintik hitam. Sayap belakang berwarna keputih–putihan dan tepinya bergaris–garis hitam. Siklus hidup dari telur sampai imago adalah 3 – 4 minggu
(Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2008).
            Pupa berwarna coklat muda dengan panjang 9-11 mm, tanpa rumah pupa.Pupa berada di dalam tanah dengan kedalaman + 1 cm. Pupa sering dijumpai jugapada pangkal batang, terlindung dari daun kering, atau di bawah partikel tanah.Pupa memerlukan waktu 5 hari untuk berkembang menjadi ngengat               (Hadisoeganda, dkk., 1995)
            Ngengat hama ini lebih kecil dari anggota kelompok ulat pemotong daunlainnya. Rentangan sayap imagonya antara 1-1.5 inch. Sayap depan berwarnakelabu hingga coklat kelabu dengan garis-garis yang kurang tegas dan terdapatbintik-bintik hitam. Sayap belakang berwarna lebih terang dengan tepi yangbergaris-garis hitam. Seekor betina mampu menghasilkan lebih dari 1000 butirtelur dalam satu siklus hidupnya. Lamanya daur hidup sekitar 21 hari(Mau and Kessing, 1991). Pada suhu 30o-33oC lamanya daur hidup sekitar 15-17hari (Moekasan, dkk., 2000).
            Ulat berbentuk bulat panjang, berwarna hijau atau coklat dengan kepalaberwarna kuning kehijauan (Moekasan, dkk., 2000). Ulat lebih aktif pada malamhari. Stadium larva berlangsung selama 8-10 hari. Stadiumulat terdiri dari 5 instar. Warna larva antara hijau terang sampai hijau gelap. Padafase tertentu tubuh larva terdapat garis-daris berwarna gelap disepanjangtubuhnya. Ukuran maksimum larva hama ini antara 1-2 inchi (Mau dan Kessing, 1991).
Gejala Serangan
            Gejala serangan hama ini pada tanaman bawang merah ditandai dengantimbulnya bercak-bercak putih transparan pada daun.Larva memakan daun tanaman, larva muda masuk ke dalam jaringan parenkimdaun dan makan daun sebelah dalam meninggalkan jaringan epidermis daun (Moekasan, dkk., 2000).
            Koloni ulat kecil-kecil membuat lubang pada daun, kemudian merusakjaringan vaskuler dan masuk ke pipa daun sambil memangsa daging daun sebelahdalam. Daun bawang merah tampak berbercak putih memanjang seperti membran,kemudian layu, berlubang, dan di dekat lubang tersebut terdapat kotoran ulat.Serangan yang cukup berat dapat menimbulkan kehilangan hasil hingga 57%  (Rukmana, 1995).
            Bagian tanaman yang diserang terutama adalah daunnya. Akan tetapi,apabila populasi larva sangat banyak, larva akan menyerang umbi yang tersedia.Begitu menetas dari telur, larva akan segera melubangi daun bagian ujungnya, masuk dan makan daging daun bagian dalam, tetapi epidermis bagian luarnya tetap, dibiarkan tidak dimakan. Akibatnya pada daun terlihat bercak-bercakberwarna putih yang apabila diterawangkan tembus cahaya. Serangan lanjut menyebabkan daun terkulai dan mengering (Hadisoeganda, dkk., 1995).
 PENGELOLAAN HAMA TERPADU ULAT BAWANG (Spodoptera exigua Hubner) PADA TANAMAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.)

Ambang Ekonomi
            Ambang ekonomi pengendalian ulat bawang yang ada pada saat ini ialah berdasarkan kelompok telur atau intensitas serangan. Dengan penerapan ambang pengendalian tersebut penggunaan insektisida dapat ditekan lebih dari 50% dengan hasil panen tetap tinggi. Namun, di tingkat petani penerapan ambang pengendalian tersebut secara teknis masih sulit diterapkan karena dibutuhkan kecermatan yang tinggi. Oleh karena itu perlu dicari alternatif ambang pengendalian yang secara teknis mudah diterapkan agar dapat diadopsi oleh petani (Moekasan dkk, 2000).
Nilai ambang ekonomi hama ini sebelumnya sudah diteliti oleh Moekasan (1994) dan Setiawati (1994). Moekasan menetapkannya berdasarkan tingkat kerusakan (intensitas) pada tingkat umur yang berbeda. Setiawati menetapkannya berdasarkan tingkat kehilangan hasil akibat investasi larva di rumah kaca. Keduanya melakukan penelitian pada komoditas yang berbeda dan di dataran Rendah. Ambang kendali hama S. exigua di dataran tinggi belum pernah dilaporkan sebelumnya. Perkembangan hama di dataran rendah berbeda dengan di dataran tinggi akibat pengaruh suhu yang berbeda. Akibat perkembangan hama yang berbeda, tingkat kerusakan pada tanaman juga akan berbeda. Tingkat kerusakan yang berbeda akan menyebabkan kehilangan hasil yang berbeda. Tingkat kehilangan hasil yang berbeda menyebabkan nilai ambang ekonominya juga berbeda. Oleh karenanya telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mempelajari tingkat kerusakan, produksi dan tingkat kehilangan hasil, serta menetapkan nilai ambang ekonomi hama S. exigua pada bawang merah      (Harahap, 1994).
Kultur Teknis
           Adapun dalam pengolahan hama terpadu pada tanaman bawang dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: menanam varietas toleran seperti varietas kuning dan bima, penerapan pola tanam yang meliputi pengaturan waktu tanam, pergiliran tanaman, tanam serentak dan tumpang sari, sanitasi/ pengendalian gulma disekitar pertanaman, pengelolaan tanah yang sempurna, pengelolaan air yang baik dan pengaturan jarak tanam (Nurdin dan Ali, 1997).
Pengendalian secara kultur teknis dapat pula dilakukan dengan cara penanaman varietas toleran, seperti varietas Philipine, Budidaya tanaman sehat dengan pengairan cukup, pemupukan berimbang dan penyiangan gulma, pergiliran tanaman, penanaman tanaman perangkap, misalnya tanaman kacang merah (Udiarto dkk, 2005).
Kultur Fisik/Mekanik
Pengendalian secara kultur fisik/mekanik dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan kelompok telur dan larva, terutama pada saat tanaman bawang merah berumur 7-35 hari, kemudian dimusnahkan, memasang lampu perangkap, pemasangan perangkap feromonoid seks untuk ngengat, penggunaan sungkup kain kasa untuk menekan populasi telur dan larva (Wibowo, 2007).
Penggunaan mulsa plastik, pengambilan daun yang menunjukkan gejala korokan dipotong lalu dimusnahkan, penggunaan perangkap, seperti pemasangan kain kelambu, perangkap warna, pemasangan light trap, dan penyapuan kain dengan perekat yan diharapkan mampu mengendaliakn populasi hama          (Nurdin dan Ali, 1997).
Kultur Biologi / Hayati
Pengendalian secara kultur biologi dapat dilakukan dengan cara menggunakan peran parasitoid S. Exigua seperti Telenomus spodopterae, Eriborus sinicus, Apanteles sp., Mikrosporidia SeNPV, Bacillus thuringiensis, dan Beauveria bassiana (Wulansari, 1996).
Selain itu pengendaian biologis juga dapat dilakukan dengan menggunakan parasitoid Hemiptarsenus varicornis, Opius sp., dan menggunakan predator Coenosia humilis yang dapat membantu dalam pengendalan secara biologi (Wibowo, 2007).

Kultur Kimiawi

Pengendalian secara kultur kimiawi dapat dilakukan dengan cara menggunakan insektisida yang berbahan aktif sipermetrin deltametrin, beta siflutrin, profenofos, dan spinosad yang dapat diaplikasikan ke tanaman      (Udiarto dkk, 2005).
Dalam pengendalian secara kimiawi dapat digunakan pula beberapa pestisida yaitu pengaplikasian pestisida kimia yang berbahan aktif Kartap hidroksida yang mampu dalam proses pengendalian hama pada tanamna bawang (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2008).
KESIMPULAN
1.      Ambang ekonomi hama Spodoptera exigua Hubner yaitu berdasarkan tingkat kerusakan (intensitas) pada tingkat umur yang berbeda
2.      Pengendalian hama Spodoptera exigua Hubner secara kultur teknis yaitu penerapan pola tanam, menanam varietas toleransi, sanitasi dan pengolahan tanah.
3.      Pengendalian hama Spodoptera exigua Hubner secara kultur fisik/mekanik yaitu mengumpulkan kelompok telur dan larva, memasang lampu perangkap dan menggunakan sungkup.
4.      Pengendalian hama Spodoptera exigua Hubner secara kultur biologi yaitu dengan musuh alami yaitu parasitoid yaitu Telenomus spodopterae, Eriborus sinicus, Apanteles sp., Mikrosporidia SeNPV, Bacillus thuringiensis, dan Beauveria bassiana
5.      Pengendalian hama Spodoptera exigua Hubner secara kultur kimiawi yaitu dilakukan dengan cara menggunakan insektisida yang berbahan aktif sipermetrin deltametrin, beta siflutrin, profenofos, dan spinosad yang dapat diaplikasikan ke tanaman
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 2004. Pedoman Bertanam Bawang. Kanisius. Yogyakarta.

Ashari, S., 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta.

Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2005. Kebijakan Pengembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Apresiasi   Penerapan Penanggulangan OPT Bawang Merah, Surabaya, 5 – 7 Juli 2005.

Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2008. Kebijakan Teknis    Pengendalian OPT. Makalah disampaikan dalam Apresiasi Penerapan       Penanggulangan OPT Bawang Merah, Surabaya, 5 – 7 Juli 2008.

Hadisoeganda, W.W., E. Suryaningsih, dan T.K. Moekasan. 1995. Penyakit dan Hama Bawang Merah dan Cara Pengendaliaannya. Dalam : Permadi, A.H., H.H. Sunarjono, Suwandi, F.A. Bahar, S. Sulihanti, dan W. Broto (Penyunting). Teknologi Produksi Bawang Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.Badan Penelitian dan Pengembangan       Pertanian. Jakarta.

Harahap, I. S. 1994. Seri PHT Hama Palawija. Penebar Swadaya. Jakarta

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of crops in Indonesia. Revised and translated by P.A. van der Laan. PT. Ichtiar Baru-van Hoeve. Jakarta.

Mau, R.F.L., and J.L.M. Kessing, 1991. Spodoptera exigua (Hubner) Beet Army   Worm. Departement of Entomology. Honollulu, Hawaii. Diakses dari:             http://www.extento.hawai.edu/k.base/crop/type/spodoptera.htm.

Moekasan, T.K.., I. Sulastrini, T. Rubiati dan V.S. Utami. 2000.Pengujian efikasi ekstrak kasar SeNPV terhadap larva Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah. J. Hort. 9 (1) : 121 - 128.

Nurdin, F. dan Ali, M. 1997. Pemakaian Pestisida Pada tanaman Bawang, Kentang dan Kubis diAlahan Panjang. Proseding Seminar BPTP Sukarami.
ada Agroekosistem Tanaman Bawang Merah. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 13 (1):    33-37. Sumatera Barat.

Pitojo, S. 2003. Benih Bawang Merah. Kanisius. Yogyakarta.

Rahayu, E dan N. Berlian. 1999. Bawang Merah. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rukmana, R. 1995. Bawang Merah : Budidaya dan Pengelolaan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta.

Sastrasiswojo, S. 1992. Prospek penerapan dan Pengembangan Pengendalian hama Terpadu PadaTanaman Sayuran. Seminar Nasional dan Forum Komunikasi. Himpunan Mahasiswa HPTFak. Pertanian Univ. Padjadjaran. Bandung.

Sumarni dan Hidayat. 2005. Panduan teknis PTT Bawang merah No.3. Balai Penelitian Sayuran IPB. http://agroindonesia.co.id.

Sumarno dan Harnoto. 1983. Bawang dan Cara Bercocok Tanamnya. Puslitbangtan, Bogor.

Suparman. 2010. Bercocok Tanam Bawang Merah. Azka Press. Jakarta.

Tim Bina Karya Tani. 2008. Pedoman Bertanam Bawang Merah. Yrama Widya. Bandung.

Udiarto, B.K., Wiwin S., dan Euis S. 2005. Pengenalan Hama dan Penyakit pada Tanaman Bawang Merah dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman       Sayur. Bandung.

Wibowo, S. 2007. Budidaya Bawang : Bawang Putih, Bawang Merah, Bawang Bombay. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wulansari, A. 1996. Perkembangan Serangan Spodoptera exigua Hubner   (Lepidoptera: Noctudae)Pada Tanaman Bawang Merah. Jurusan Hama dan            Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. Bogor.