
Latar
Belakang
Bawang
merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah
diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam
kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap
makanan serta bahan obat tradisional. Komoditas ini juga merupakan sumber
pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi
terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Rp. 2,7 triliun/tahun), dengan potensi
pengembangan areal cukup luas mencapai ± 90.000 ha (Dirjen Hortikultura, 2005)
Bawang merah merupakan
tanaman semusim, memiliki umbi berlapis, berakar serabut, dengan daun berbentuk
silinder berongga. Umbi bawang merah terbentuk dari pangkal daun yang bersatu
dan membentuk batang yang kemudian berubah bentuk dan fungsinya, membesar dan
akhirnya membentuk umbi berlapis (Sumarno dan Hartono, 1983).
Umbi bawang merah mengandung vitamin C, kalium, serat
dan asid folic, sulfur, serta kalsium dan zat besi yang tinggi. Bawang merah
merupakan komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi di Kabupaten Cirebon.
Wilayah sentra pengem- bangannya meliputi Waled, Ciledug, Pabuaran, Losari,
Pabedilan, Babakan, Gebang, Karang Sembung, Sedong, Astanajapura, Pangenan,
Mundu, Beber, Palimanan, Plumbon, dan Susukan. Luas tanam bawang merah di
Cirebon tercatat 3.873 ha dan luas panen 3.665 ha. Produksi mencapai 35.271 ton
atau produktivitas rata-rata 9,09 ton/ha. Produksi tersebut dapat memenuhi
kebutuhan Kabupaten Cirebon, bahkan sebagian dipasarkan ke luar daerah. Oleh
karena itu, pengembangan bawang merah memberikan kontribusi besar terhadap
pendapatan petani (Wibowo, 2007).
Bawang
merah dihasilkan di 24 dari 32 provinsi di Indonesia. Penghasil utama (luas
areal panen > 1.000 hektar per tahun) bawang merah adalah Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogya, Jawa Timur, Bali, NTB, dan
Sulawesi Selatan. Keseluruhan provinsi ini menyumbang 95,8% (Jawa memberikan kontribusi
75%) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada tahun 2003. Konsumsi
rata-rata bawang merah pada tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38
kg/kapita/bulan. Menjelang hari raya keagamaan terjadi kenaikan konsumsi
sebesar 10 – 20 % (Dirjen Hortikultura, 2005).
Beberapa
masalah yang dihadapi dalam budidaya bawang merah, antara lain adalah : (1)
ketersediaan benih bermutu belum mencukupi secara tepat (waktu, jumlah, dan
mutu); (2) penerapan teknik budidaya yang baik dan benar belum dilakukan secara
optimal; (3) sarana dan prasarana masih terbatas; (4) kelembagaan usaha di
tingkat petani belum dapat menjadi pendukung usaha budidaya; (5) skala usaha
relatif masih kecil akibat sempitnya kepemilikan lahan dan lemahnya permodalan;
(6) produktivitas cenderung mengalami penurunan; (7) harga cenderung berfluktuasi dan masih
dikuasai oleh tengkulak; dan (8) serangan OPT semakin bertambah (Udiarto, dkk., 2005).
Usaha
meningkatkan produksi bawang merah (Allium ascolonicum L.), tidak terlepas dariserangan
hama dan penyakit. Salah satu hama penting pada bawang merah yaitu (Spodoptera exigua Hubner).
Srangan S. exigua dapat mneguragi hasil panen sampai 57%. Hama inimerupakan
pemakan daun yang sangat merugikan, karena mulai dari larva instar pertama
sampai larva instar akhir dapat menghancurkan
daun hingga gundul (Wulansari, 1996).
Salah
satu upaya untuk meningkatkan daya saing bawang merah adalah melalui
pengembangan dan penerapan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dilihat
dari sisi perundang-undangan, PHT telah memperoleh dukungan yang kuat dari
pemerintah melalui UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, PP No. 6 tahun
1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan Menpan No. 887/Kpts/OT/9/1997
tentang Pedoman Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Secara
global, PHT atau Integrated Pest Management (IPM) telah memperoleh pengakuan
sebagai program pertanian berkelanjutan, antara lain dengan dimasukkannya PHT
sebagai salah satu program dalam Agenda 21 Hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro
(Udiarto, dkk., 2005).
Tujuan
umum program PHT adalah pengembangan sistem pengelolaan hama yang diperbaiki
dan berwawasan lingkungan untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan.
Untuk itu pengendalian OPT yang akrab lingkungan seperti penggunaan musuh alami
(parasitoid, predator dan patogen serangga), memperoleh perhatian dan dukungan
(Udiarto, dkk., 2005).
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui pengelolaan hama
terpadu hama Spodoptera exigua Hubner
pada tanaman bawang merah (Allium ascolonicum L.)
Kegunaan
Penulisan
Adapun kegunaan
penulisan dari paper ini adalah sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti
Pra Praktikal Test di Laboratorium Pengelolaan Hama dan Penyakit Terpadu
Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,
Medan dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.
TINJAUAN
PUSTAKA
Botani
Tanaman Bawang Merah (Allium
ascolonicum L.)
Tanaman
bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut Kingdom : Plantae ; Divisio :
Spermatophyta ; Subdivisio : Angiospermae ; Kelas : Monocotyledoneae ; Ordo :
Liliaceae ; Family : Liliales ;
Genus : Allium ;
Species : Allium ascalonicum L. (Tim Bina Karya
Tani, 2008).
Tanaman
bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang
terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam tanah. Jumlah perakaran
tanaman bawang merah dapat mencapai 20-200 akar. Diameter bervariasi antara
0,5-2 mm. Akar cabang tumbuh dan terbentuk antara 3-5 akar (AAK, 2004).
Tanaman
ini memiliki batang sejati atau disebut “discus” yang berbentuk seperti cakram, tipis dan pendek sebagai
tempat melekatnya akar dan mata tunas (titik
tumbuh), diatas discus terdapat batang semu yang tersusun dari pelepah-pelepah daun dan batang semu yang berbeda di dalam
tanah berubah bentuk danfungsi menjadi umbi lapis (Rahayu dan Berlian, 1999).
Daun
bawang merah bertangkai relatif pendek, berbentuk bulat mirip pipa, berlubang,
memiliki panjang 15-40 cm, dan meruncing pada bagian ujung. Daun berwarna hijau
tua atau hijau muda. Setelah tua, daun menguning, tidak lagi setegak daun yang
masih muda dan akhirnya mengering dimulai dari bagian ujung tanaman (Suparman,
2010)
Bunga
bawang merah merupakan bunga sempurna, memiliki benang sari dan kepala putik.
Tiap kuntum bunga terdiri atas enam daun bunga yang berwarna putih, enam benang
sari yang berwarna hijau kekuning-kuningan, dan sebuah putik. Kadang-kadang, di
antara kuntum bunga bawang merah ditemukan bunga yang memiliki putik sangat
kecil dan pendek atau rudimenter. Meskipun kuntum bunga banyak, namun bunga
yang berhasil mengadakan persarian relatif sedikit (Pitojo, 2003).
Buah
berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul membungkus biji berjumlah 2-3 butir.
Bentuk biji pipih, sewaktu masih muda berwarna bening atau putih, tetapi
setelah tua menjadi hitam. Biji-biji berwarna merah dapat dipergunakan sebagai
bahan perbanyakan tenaman secara generatif (Rukmana, 1995).
Syarat
Tumbuh
Iklim
Bawang merah dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah
sampai dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 0–1000 m dpl. Meskipun demikian ketinggian optimalnya
adalah 10–30 mdpl saja. Pada ketinggian 500–1000m dpl, juga dapat tumbuh, namun
pada ketinggian itu yang berarti suhunyar endah pertumbuhan tanaman terhambat
dan umbinya kurang baik
(Wibowo, 2007).
(Wibowo, 2007).
Tanaman bawang merah lebih optimum
tumbuh di daerah beriklimkering.Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan
dan intensitas hujan yang tinggi serta cuaca berkabut.Tanaman ini membutuhkan
sinar matahari yangmaksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25-32° C dan
kelembapan nisbi 50-70% (Sumarni dan Hidayat, 2005).
Sinar matahari berperan
cukup besar bagi kehidupan tanaman bawang,terutama dalam proses fotosintesis.
Tanaman bawang merah menghendaki areal penanaman
terbuka, karena tanaman ini memerlukan penyinaran yang cukup panjang sekitar 70%.Oleh karena itu
tanaman bawang merah dikelompokkan kedalam tanaman berhari panjang (AAK, 2004).
Curah
hujan yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman bawang merah adalah antara 300-2.500 mm per tahun. Tanaman bawang merah sangat rentan terhadap
curah hujan tinggi, terutama daunnya yang mudah rusak sehingga dapat menghambat
pertumbuhannya, dan umbinya pun mudah busuk (Tim Bina Karya Tani, 2008).
Pada suhu yang rendah, hasil berupa
umbi dari tanaman bawang merah kurang baik.Pada suhu 22° C tanaman masih mudah
membentuk umbi, tetapi hasilnya tidak sebaik jika ditanam di dataran rendah
yang bersuhu panas.Daerahyang sesuai adalah yang suhunya sekitar 25-32° C dan
suhu rata-rata tahunannya30° C (Rahayu dan Berlian, 1999).
Tanah
Tanaman bawang
merah menyukai tanah yang subur, gembur dan banyak mengandung bahan organik. Tanah yang
gembur dan subur akan mendorong perkembangan
umbi sehingga hasilnya lebih maksimal. Selain itu, bawang merahhendaknya
ditanam di tanah yang mudah meneruskan air, aerasinya baik dan tidak boleh ada genangan.Jenis tanah yang paling
baik untuk bawang merah adalah tanah
lempung berpasir atau lempung berdebu.Jenis tanah ini mempunyai aerasi dan drainase yang baik karena mempunyai
perbandingan yang seimbang antara fraksi
liat, pasir dan debu (Rahayu dan Berlian, 1999).
Bawang
merah menghendaki struktur tnah remah.Tanah remah memiliki perbandingan bahan padat dan pori-pori
yang seimbang. Bahan padat
merupakan tempat berpegang akar. Tanah remah lebih baik dari pada tanah
bergumpal
(AAK, 2004).
(AAK, 2004).
Tanaman bawang merah menghendaki
tanah gembur subur dengan drainase baik. Tanah berpasir memperbaiki
perkembangan umbinya. pH tanah yang sesuai sekitar netral, yaitu 5,5 hingga 6,5
sedangkan temperatur cukup panas yaitu 25-32°C. Persyaratan tumbuh untuk bawang
bombai berlaku pula untuk bawangmerah (Ashari, 1995).
Biologi
Hama
Spodoptera
exigua Hubner
dapatdiklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Arthropoda ; Kelas : Insecta ; Ordo : Lepidoptera ; Famili : Noctuidae ; Genus : Spodoptera ; Species : Spodoptera exigua Hubner
(Kalshoven, 1981).
Ulat
daun bawang (Spodoptera exigua Hubner)
mempunyai beberapa variasi warna yaitu hijau, cokelat muda, dan hitam
kecoklatan. Ulat yang hidup di dataran tinggi umumnya berwarna coklat. Panjang
ulat penggerek daun ini sekitar 2,5 cm. Sejak telur menetas menjadi ulat,
berkepompong, lalu menjadi serangga dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 23
hari (Rahayu dan Berlian, 1999).
Telur
berbentuk bulat sampai bulat panjang, diletakkan oleh induknyadalam bentuk
kelompok pada permukaan daun atau batang dan tertutup olehbulu-bulu atau sisik
dari induknya. Tiap kelompok telur maksimum terdapat80 butir. Jumlah telur yang
dihasilkan oleh ngengat betina sekitar 500-600 butir.Setelah 2 hari telur
menetas menjadi larva (Moekasan, dkk.,
2000).
Larva
muda terdiri dari enam instar kadang ada juga lima instar. Larvaberwarna hijau
dengan garis – garis hitam pada punggungnya, berukuran 1,2–1,5mm. Sedangkan
larva instar lanjut (2-5), berwarna hijau (umumnya di dataran rendah)
dan berwarna coklat (umumnya didataran tinggi) dengan garis kuning pada
punggungnya. Setelah melalui instar akhir, larva menjatuhkan diri ketanah untuk
berkepompong. Ngengat mempunyai sayap depan berwarna coklat tua dengan garis–garis kurang tegas dan
terdapat bintik–bintik hitam. Sayap belakang
berwarna keputih–putihan dan tepinya bergaris–garis hitam. Siklus hidup dari
telur sampai imago adalah 3 – 4 minggu
(Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2008).
(Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2008).
Pupa
berwarna coklat muda dengan panjang 9-11 mm, tanpa rumah pupa.Pupa berada di
dalam tanah dengan kedalaman + 1 cm. Pupa sering dijumpai jugapada pangkal
batang, terlindung dari daun kering, atau di bawah partikel tanah.Pupa
memerlukan waktu 5 hari untuk berkembang menjadi ngengat (Hadisoeganda, dkk., 1995)
Ngengat
hama ini lebih kecil dari anggota kelompok ulat pemotong daunlainnya. Rentangan
sayap imagonya antara 1-1.5 inch. Sayap depan berwarnakelabu hingga coklat
kelabu dengan garis-garis yang kurang tegas dan terdapatbintik-bintik hitam.
Sayap belakang berwarna lebih terang dengan tepi yangbergaris-garis hitam.
Seekor betina mampu menghasilkan lebih dari 1000 butirtelur dalam satu siklus
hidupnya. Lamanya daur hidup sekitar 21 hari(Mau and Kessing, 1991). Pada suhu
30o-33oC lamanya daur hidup sekitar 15-17hari (Moekasan, dkk., 2000).
Ulat
berbentuk bulat panjang, berwarna hijau atau coklat dengan kepalaberwarna
kuning kehijauan (Moekasan, dkk.,
2000). Ulat lebih aktif pada malamhari. Stadium larva berlangsung selama 8-10
hari. Stadiumulat terdiri dari 5 instar. Warna larva antara hijau terang sampai
hijau gelap. Padafase tertentu tubuh larva terdapat garis-daris berwarna gelap
disepanjangtubuhnya. Ukuran maksimum larva hama ini antara 1-2 inchi (Mau dan Kessing, 1991).
Gejala
Serangan
Gejala
serangan hama ini pada tanaman bawang merah ditandai dengantimbulnya
bercak-bercak putih transparan pada daun.Larva memakan daun tanaman, larva muda
masuk ke dalam jaringan parenkimdaun dan makan daun sebelah dalam meninggalkan
jaringan epidermis daun (Moekasan,
dkk., 2000).
Koloni
ulat kecil-kecil membuat lubang pada daun, kemudian merusakjaringan vaskuler
dan masuk ke pipa daun sambil memangsa daging daun sebelahdalam. Daun bawang
merah tampak berbercak putih memanjang seperti membran,kemudian layu,
berlubang, dan di dekat lubang tersebut terdapat kotoran ulat.Serangan yang
cukup berat dapat menimbulkan kehilangan hasil hingga 57% (Rukmana, 1995).
Bagian
tanaman yang diserang terutama adalah daunnya. Akan tetapi,apabila populasi
larva sangat banyak, larva akan menyerang umbi yang tersedia.Begitu menetas dari
telur, larva akan segera melubangi daun bagian ujungnya, masuk dan makan daging
daun bagian dalam, tetapi epidermis bagian luarnya tetap, dibiarkan tidak dimakan. Akibatnya
pada daun terlihat bercak-bercakberwarna putih yang apabila diterawangkan tembus
cahaya. Serangan lanjut menyebabkan
daun terkulai dan mengering (Hadisoeganda, dkk.,
1995).
PENGELOLAAN HAMA TERPADU ULAT BAWANG (Spodoptera exigua Hubner) PADA TANAMAN BAWANG
MERAH
(Allium ascalonicum L.)
Ambang Ekonomi
Ambang ekonomi pengendalian ulat
bawang yang ada pada saat ini ialah berdasarkan kelompok telur atau intensitas
serangan. Dengan penerapan ambang pengendalian tersebut penggunaan insektisida
dapat ditekan lebih dari 50% dengan hasil panen tetap tinggi. Namun, di tingkat
petani penerapan ambang pengendalian tersebut secara teknis masih sulit
diterapkan karena dibutuhkan kecermatan yang tinggi. Oleh karena itu perlu
dicari alternatif ambang pengendalian yang secara teknis mudah diterapkan agar
dapat diadopsi oleh petani (Moekasan dkk,
2000).
Nilai ambang ekonomi hama ini sebelumnya sudah
diteliti oleh Moekasan (1994) dan Setiawati (1994). Moekasan menetapkannya
berdasarkan tingkat kerusakan (intensitas) pada tingkat umur yang berbeda.
Setiawati menetapkannya berdasarkan tingkat kehilangan hasil akibat investasi
larva di rumah kaca. Keduanya melakukan penelitian pada komoditas yang berbeda
dan di dataran Rendah. Ambang kendali hama S. exigua di dataran tinggi
belum pernah dilaporkan sebelumnya. Perkembangan hama di dataran rendah berbeda
dengan di dataran tinggi akibat pengaruh suhu yang berbeda. Akibat perkembangan
hama yang berbeda, tingkat kerusakan pada tanaman juga akan berbeda. Tingkat
kerusakan yang berbeda akan menyebabkan kehilangan hasil yang berbeda. Tingkat
kehilangan hasil yang berbeda menyebabkan nilai ambang ekonominya juga berbeda.
Oleh karenanya telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mempelajari
tingkat kerusakan, produksi dan tingkat kehilangan hasil, serta menetapkan
nilai ambang ekonomi hama S. exigua pada bawang merah (Harahap, 1994).
Kultur Teknis
Adapun dalam pengolahan hama terpadu
pada tanaman bawang dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: menanam
varietas toleran seperti varietas kuning dan bima, penerapan pola tanam yang meliputi
pengaturan waktu tanam, pergiliran tanaman, tanam serentak dan tumpang sari,
sanitasi/ pengendalian gulma disekitar pertanaman, pengelolaan tanah yang
sempurna, pengelolaan air yang baik dan pengaturan jarak tanam (Nurdin dan Ali,
1997).
Pengendalian secara
kultur teknis dapat pula dilakukan dengan cara penanaman varietas toleran,
seperti varietas Philipine, Budidaya tanaman sehat dengan pengairan cukup,
pemupukan berimbang dan penyiangan gulma, pergiliran tanaman, penanaman tanaman
perangkap, misalnya tanaman kacang merah (Udiarto dkk, 2005).
Kultur Fisik/Mekanik
Pengendalian secara
kultur fisik/mekanik dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan kelompok telur
dan larva, terutama pada saat tanaman bawang merah berumur 7-35 hari, kemudian
dimusnahkan, memasang lampu perangkap, pemasangan perangkap feromonoid seks
untuk ngengat, penggunaan sungkup kain kasa untuk menekan populasi telur dan
larva (Wibowo, 2007).
Penggunaan mulsa plastik,
pengambilan daun yang menunjukkan gejala korokan dipotong lalu dimusnahkan,
penggunaan perangkap, seperti pemasangan kain kelambu, perangkap warna,
pemasangan light trap, dan penyapuan kain dengan perekat yan diharapkan mampu
mengendaliakn populasi hama (Nurdin
dan Ali, 1997).
Kultur Biologi / Hayati
Pengendalian secara
kultur biologi dapat dilakukan dengan cara menggunakan peran parasitoid S.
Exigua seperti Telenomus spodopterae, Eriborus sinicus, Apanteles sp.,
Mikrosporidia SeNPV, Bacillus thuringiensis, dan Beauveria bassiana
(Wulansari, 1996).
Selain itu pengendaian biologis juga dapat dilakukan
dengan menggunakan parasitoid Hemiptarsenus varicornis, Opius sp., dan
menggunakan predator Coenosia humilis yang dapat membantu dalam pengendalan secara biologi (Wibowo,
2007).
Kultur Kimiawi
Pengendalian secara
kultur kimiawi dapat dilakukan dengan cara menggunakan insektisida yang
berbahan aktif sipermetrin deltametrin, beta siflutrin, profenofos, dan
spinosad yang dapat diaplikasikan ke tanaman (Udiarto dkk, 2005).
Dalam pengendalian secara kimiawi dapat digunakan pula
beberapa pestisida yaitu pengaplikasian pestisida kimia yang berbahan aktif Kartap
hidroksida yang mampu dalam proses pengendalian hama pada tanamna bawang (Direktorat
Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2008).
KESIMPULAN
1.
Ambang ekonomi hama Spodoptera exigua Hubner yaitu berdasarkan tingkat kerusakan
(intensitas) pada tingkat umur yang berbeda
2.
Pengendalian hama Spodoptera exigua Hubner secara
kultur teknis yaitu penerapan pola tanam, menanam varietas toleransi, sanitasi
dan pengolahan tanah.
3.
Pengendalian hama Spodoptera exigua Hubner secara
kultur fisik/mekanik yaitu mengumpulkan kelompok telur dan larva, memasang
lampu perangkap dan menggunakan sungkup.
4.
Pengendalian hama Spodoptera exigua Hubner secara
kultur biologi yaitu dengan musuh alami yaitu parasitoid yaitu Telenomus
spodopterae, Eriborus sinicus, Apanteles sp., Mikrosporidia SeNPV, Bacillus
thuringiensis, dan Beauveria bassiana
5.
Pengendalian hama Spodoptera exigua Hubner secara
kultur kimiawi yaitu dilakukan dengan cara menggunakan insektisida yang
berbahan aktif sipermetrin deltametrin, beta siflutrin, profenofos, dan
spinosad yang dapat diaplikasikan ke tanaman


AAK.
2004. Pedoman Bertanam Bawang. Kanisius. Yogyakarta.
Ashari,
S., 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta.
Direktorat
Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2005. Kebijakan Pengembangan Produksi
Bawang Merah di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Apresiasi Penerapan Penanggulangan OPT Bawang Merah,
Surabaya, 5 – 7 Juli 2005.
Direktorat
Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2008. Kebijakan Teknis Pengendalian OPT. Makalah disampaikan dalam
Apresiasi Penerapan Penanggulangan
OPT Bawang Merah, Surabaya, 5 – 7 Juli 2008.
Hadisoeganda,
W.W., E. Suryaningsih, dan T.K. Moekasan. 1995. Penyakit dan Hama Bawang Merah
dan Cara Pengendaliaannya. Dalam : Permadi, A.H., H.H. Sunarjono, Suwandi, F.A.
Bahar, S. Sulihanti, dan W. Broto (Penyunting). Teknologi Produksi Bawang
Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura.Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Harahap,
I. S. 1994. Seri PHT Hama Palawija. Penebar Swadaya. Jakarta
Kalshoven,
L.G.E. 1981. Pests of crops in Indonesia. Revised and translated by P.A. van
der Laan. PT. Ichtiar Baru-van Hoeve. Jakarta.
Mau,
R.F.L., and J.L.M. Kessing, 1991. Spodoptera exigua (Hubner) Beet Army Worm. Departement of Entomology. Honollulu,
Hawaii. Diakses dari: http://www.extento.hawai.edu/k.base/crop/type/spodoptera.htm.
Moekasan,
T.K.., I. Sulastrini, T. Rubiati dan V.S. Utami. 2000.Pengujian efikasi ekstrak
kasar SeNPV terhadap larva Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah. J.
Hort. 9 (1) : 121 - 128.
Nurdin,
F. dan Ali, M. 1997. Pemakaian Pestisida Pada tanaman Bawang, Kentang dan Kubis
diAlahan Panjang. Proseding Seminar BPTP Sukarami.
ada
Agroekosistem Tanaman Bawang Merah. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol.
13 (1): 33-37. Sumatera Barat.
Pitojo, S. 2003. Benih Bawang Merah. Kanisius.
Yogyakarta.
Rahayu, E dan N. Berlian. 1999. Bawang Merah.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Rukmana, R. 1995. Bawang Merah : Budidaya dan
Pengelolaan Pascapanen. Kanisius.
Yogyakarta.
Sastrasiswojo, S. 1992. Prospek penerapan dan
Pengembangan Pengendalian hama Terpadu
PadaTanaman Sayuran. Seminar Nasional dan Forum Komunikasi. Himpunan Mahasiswa HPTFak. Pertanian
Univ. Padjadjaran. Bandung.
Sumarni dan Hidayat. 2005. Panduan teknis PTT
Bawang merah No.3. Balai Penelitian
Sayuran IPB. http://agroindonesia.co.id.
Sumarno dan Harnoto.
1983. Bawang dan Cara Bercocok Tanamnya. Puslitbangtan, Bogor.
Suparman. 2010. Bercocok Tanam Bawang Merah. Azka
Press. Jakarta.
Tim Bina Karya Tani. 2008. Pedoman Bertanam Bawang
Merah. Yrama Widya. Bandung.
Udiarto, B.K., Wiwin S., dan Euis S. 2005.
Pengenalan Hama dan Penyakit pada Tanaman
Bawang Merah dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Sayur. Bandung.
Wibowo, S. 2007. Budidaya Bawang : Bawang Putih,
Bawang Merah, Bawang Bombay. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Wulansari, A. 1996. Perkembangan Serangan Spodoptera
exigua Hubner (Lepidoptera:
Noctudae)Pada Tanaman Bawang Merah. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian,Institut Pertanian
Bogor. Bogor.